Kenapa Aku Selalu Salah Pilih Baju dan Gimana Aku Berubah
Kenapa Aku Selalu Salah Pilih Baju — dan rasanya itu sudah jadi brand pribadiku
Pernah nggak kamu berdiri di depan lemari jam 07.10 pagi, rapat mulai jam 08.00, dan kamu cuma bisa berpikir, "Kenapa aku selalu salah pilih baju?" Itu aku, setiap hari. Ada momen puncak Januari 2021, di lift gedung klien di Sudirman, aku masuk dengan kemeja yang terasa kebesaran dan sepatu yang entah kenapa terlihat murahan. Reaksi internalku langsung: panik, malu, dan pertanyaan berulang, "Kenapa aku nggak punya standar?"
Masalahnya bukan cuma estetika. Salah pilih baju memengaruhi mood, komunikasi non-verbal, bahkan keputusan yang aku ambil di meeting. Aku kehilangan energi. Aku juga sering overbuy—membeli baju yang akhirnya cuma dipakai sekali karena ternyata tidak cocok dengan sisa lemari. Itu mahal, dan jujur melelahkan secara mental.
Ketemu AI: awalnya skeptis, lalu penasaran
Aku bukan tipe yang langsung percaya kata "AI" tanpa bukti. Tapi suatu hari, setelah kehabisan waktu menyiapkan outfit untuk presentasi produk di Juli 2022, aku mencoba aplikasi rekomendasi pakaian yang memanfaatkan computer vision dan model preferensi pengguna. Pertama aku cuma ingin coba-coba: foto beberapa item di lemari, jawab 10 pertanyaan soal acara dan cuaca. Hasilnya mengejutkan—kombinasi yang mereka sarankan terasa jauh lebih matang daripada instingku.
Teknologi di baliknya sederhana kalau dijelaskan: model seperti CLIP mengubah foto menjadi embedding—vektor yang merepresentasikan visual dan konsep. Sistem kemudian mencocokkan embedding itu dengan preferensi pengguna dan aturan kontekstual (mis. formalitas acara, cuaca, warna kulit). Ada juga komponen collaborative filtering yang melihat apa yang orang lain dengan preferensi mirip pakai. Aku belajar sedikit tentang ini karena aku ingin tahu kenapa rekomendasi itu berhasil.
Proses perubahan: dari eksperimen ke rutinitas
Aku mulai eksperimen serius. Langkah pertama: inventarisasi lemari. Satu sore Sabtu, aku foto seluruh isi lemari, termasuk tas dan sepatu—ya, sepatu. Di sinilah aku sadar betapa sepatu bisa merusak atau menyelamatkan outfit. Setelah beberapa rekomendasi buruk dari masa lalu, aku akhirnya memutuskan mengandalkan satu merek yang konsisten untuk acara semi-formal—dan itu membantuku meringkas opsi. Malam itu aku pesan satu pasang dari executivefootwear karena review dan desainnya sesuai kebutuhan formal-casual campuran yang aku inginkan.
Kemudian aku membuat loop feedback sederhana: pakai outfit yang direkomendasikan, catat reaksi—apakah aku nyaman, menerima pujian, atau merasa salah. Data itu kukemas jadi "dataset preferensi" pribadiku. Aku juga memasang constraint: tidak lebih dari tiga warna dominan per setelan, dan selalu ada satu "statement piece". Teknik kecil ini mengurangi overfitting ke satu penampilan monoton.
Teknisnya, aku nggak sampai membuat model dari nol. Aku menggunakan layanan yang memungkinkan fine-tuning ringan pada preferensi, menambahkan aturan business logic (cuaca mendung = hindari linen tipis), dan mengutamakan interpretabilitas—aku harus tahu kenapa sistem merekomendasikan sesuatu, bukan cuma mengikuti rekomendasi buta-buta.
Hasil, refleksi, dan pelajaran yang bisa kamu terapkan
Hasilnya bukan instan sempurna. Tapi dari tujuh kesalahan outfit per bulan, aku turun menjadi satu atau dua. Feelingku berubah: aku lebih tenang, percaya diri, dan punya energi fokus ke kerja, bukan wardrobe drama. Ada momen kecil yang paling berkesan—sebuah konferensi di Bandung, November lalu. Aku pakai kombinasi yang direkomendasikan sistem; beberapa orang menanyakan brand, dan aku merasa "on brand" tanpa usaha berlebih.
Pembelajaran yang paling berharga? AI bukan solusi magis—ia alat. Keberhasilan datang dari dua hal: kualitas data (foto yang jujur dari lemari, feedback real) dan aturan manusia yang jelas (batasan warna, preferensi material, nilai sentimental). Jangan serahkan aesthetic judgment sepenuhnya ke model. Gunakan AI untuk mengurangi keputusan repetitif dan memberi opsi yang terstruktur, lalu pilih dengan selera manusia.
Praktisnya, kalau kamu sering salah pilih baju: mulai dengan inventarisasi cepat, coba satu aplikasi rekomendasi berbasis visi komputer, beri feedback terus-menerus, dan tetapkan beberapa aturan personal yang tidak bisa digantikan mesin. Sekali lagi: sepatu itu penting—jangan anggap enteng. Percayalah, memperbaiki keputusan pakaian bisa menghemat waktumu, uangmu, dan—lebih penting—energi mentalmu untuk hal yang benar-benar penting.


